Perda DKI Jakarta Mengenai IMB

PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 1991 TENTANG BANGUNAN DALAM WILAYAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

B A B II KETENTUAN ADMINISTRASI

Bagian Pertama Pasal 2

Gubernur Kepala Derah berwenang :

  1. menerbitkan izin sepanjang persyaratan teknis dan administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  2. memberikan izin atau menentukan lain dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, dengan mempertimbangkan ketertiban umum, keserasian lingkungan, keamanan jiwa manusia serta mempertimbangkan pendapat para ahli;
  3. menetapkan sifat atau tingkat nilai izin yang diterbitkan;
  4. menerbitkan surat izin bekerja para pelaku teknis pembangunan;
  5. mengatur lebih lanjut hal-hal khusus dalam suatu perencanaan dan atau pelaksanaan pembangunanan suatu lingkungan;
  6. menghentikan atau menutup kegiaatan di dalam suatu bangunan yang dinilai belum dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada huruf a Pasal ini, sampai yang bertanggung jawab atas bangunan tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan;
  7. memerintahkan pemilik pekarangan untuk meninggikan atau merendahkan pekarangan sehingga serasi dengan sarana dan prasarana lingkungan yang ada;
  8. memerintahkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap bagian bangunan, bangunan-bangunan dan pekarangan ataupun suatu lingkungan untuk pencegahan terhadap gangguan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia;
  9. memerintahkan, menyetujui atau menolak dilakukannya pembangunan, perbaikan atau pembongkaran sarana atau prasarana lingkungan oleh pemilik bangunan atau tanah;
  10. menetapkan pembebasan terhadap keputusan peruntukan sebidang tanah yang ternyata dalam batas waktu 5 tahun keputusan peruntukan tersebut belum dapat dilaksanakan;
  11. dapat menetapkan kebijaksanaan terhadap linngkungan khusus atau lingkungan yang dikhususkan dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan Daerah ini dengan mempertimbangkan keserasian lingkungan dan atau keamanan negara;
  12. dapat menetapkan bangunan tertentu untuk menampilkan arsitektur berkultur Indonesia.

Pasal 3

Gubernur Kepala Daerah menetapkan :

  1. prosedur dan persyaratan serta kriteria teknis tentang jenis penampilan bangun-bangunan;
  2. sebagian bidang pekarangan atau bangunan untuk penempatan, pemasangan dan pemeliharaan prasarana atau sarana lingkungan kota demi kepentingan umum;
  3. kebijaksaan teknis secara khusus terhadap bangunan yang sebagian lahannya ditetapkan untuk digunakan bagi kepentingan umum.

Pasal 4

Gubernur Kepala Daerah atau petugas yang ditunjuk menjalankan tugasnya berwenang memasuki halaman, pekarangan dan atau bangunan.

Bagian Kedua Perizinan

Pasal 5

(1) Setiap kegiatan membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus memiliki izin dari Gubernur Kepala Daerah.

(2) Selain harus memenuhi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini harus dipenuhi pula ketentuan lain yang berkaitan dengan kegiatan mendirikan bangunan.

(3) Permohonan izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini, diajukan dengan mengisi formulir dan melengkapi persyaratan yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 6

(1) Permohonan izin membangun dan atau menggunakan bangunan diajukan secara tertulis oleh pemohon kepada Gubernur Kepala Daerah.

(2) Tata cara dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

(3) Proses pembuatan Surat Izin dari Gubernur Kepala Daerah dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan harus sudah selesai.

Pasal 7

Atas permohonan yang bersangkutan Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan secara bertahap, sepanjang tahapan kegiatan pelaksanaan bangunanan tersebut memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 8

(1) Permohonan izin membangun dan atau menggunakan bangunan dan atau kelayakan menggunakan bangunan di tangguhkan penyelesaiannya, jika pemohon tidak melengkapi dan atau memenuhi persyaratan dalam jangka waktu yang ditetapkan.

(2) Apabila terjadi sengketa yang ada hubungannya dengan persyaratan izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan, penyelesaian permohonan izin dimaksud dapat ditangguhkan sampai ada penyelesaian sengketa.

(3) Keputusan penangguhan penyelesaian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan.

(4) Permohonan izin yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pasal ini setelah lewat waktu 12 bulan sejak tanggal penangguhan dapat ditolak dengan surat pemberitahuan disertai alasan penolakan.

Pasal 9

Gubernur Kepala Daerah dapat menolak permohonan izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan, apabila :

  1. berdasarkan ketentuan yang berlaku kegiatan menggunakan dan atau berdirinya bangunan akan melanggar ketertiban umum atau merugikan kepentingan umum;
  2. kepentingan pemukiman masyarakat setempat akan dirugikan atau penggunaannya dapat membahayakan kepentingan umum, kesehatan dan keserasian lingkungan;
  3. permohonan belum atau tidak melaksanakan perintah tertulis yang diberikan sebagai salah satu starat diprosesnya permohonan.

Pasal 10

(1) Gubernur Kepala Daerah dapat membekukan izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan yang telah diterbitkan, apabila kemudian ternyata terdapat sengketa, pengaduan dari pihak ketiga atau pelanggaran atau kesalahan teknis dalam membangun.

(2) Keputusan pembukuan izin diberitahukan secara tertulis kepada pemegang izin dengan disertai alasan, setelah pemegang izin diberkan kesempatan untuk memberikan penjelasan.

Pasal 11

(1) Gubernur Kepala Daerah dapat mencabut izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan apabila:

  1. izin membangun dan atau menggunakan dan atau kelayakan menggunakan bangunan diterbitkan bedasarkan kelengkapan persyaratan izin yang diajukan dan keterangan pemohon, yang ternyata kemudian tidak benar;

Legalitas, Kewajiban, dan Profesionalitas Arsitek

  1. Legalitas Sebagai Pertanggung-jawaban Seorang Arsitek :

Arsitek merupakan sebuah profesi yang menggiurkan dan menyenangkan. Pekerjaan yang karyanya mampu memukau orang dan dunia. Terlebih ketika mereka bergabung bersama para insinyur untuk membangun karya-karya megah. Namun sebagai sebuah profesi besar, seorang arsitek juga memiliki banyak tanggung-jawab seperti profesi lainnya terutama karena arsitek adalah “perancang dunia”. Maka dari itu keprofesionalitas sangat dituntut di dalam profesi ini. Sebuah sertifikasi, pengalaman, skill, dan atitude akan selalu dipertanyakan ketika bekerja sebagai seorang arsitek. Tahap-tahap menjadi seorang arsitek agak sedikit berbeda dari profesi yang lain. Seorang fresh-graduate tidak akan langsung diterima sebagai seorang pendesain ataupun konsultan. Bahkan mereka belum disebut sebagai arsitek. Sebutan arsitek didapatkan setelah mereka menamatkan pendidikan S2 mereka. Ini dibutuhkan mengingat kebutuhan dari pekerjaan para arsitek tersebut yang berhubungan dengan bangunan. Kita banyak melihat bangunan-bangunan roboh atau bangunan yang ternyata dibangun dengan struktur tidak memadai dikarenakan ingin mengejar keuntungan setinggi mungkin tanpa menghiraukan efek jangka panjang dan pendeknya. Maka dari itu sebuah sertifikasi atau legalitas harus dipertanyakan untuk menjamin kinerja dan profesionalitas mereka sehingga tidak ada masalah dalam pembangunan daerah.

  1. Arsitek Dalam Peraturan :

    Sejarah jasa konstruksi

    1. Periode sebelum kemerdekaan

    Selama pemerintahan Belanda di Indonesia semua bentuk kemajuan seperti teknologi dan sumber daya manusia, didatangkan dari Eropa Barat. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi juga tidak begitu banyak sekitar 6 buah dan merupakan anak perusahaan dengan induknya berada di Netherlands. Pada masa ini orang terdidik, peralatan, dan bahan-bahan bangunan seperti semen, baja, kaca adalah buatan Eropa dan telah memenuhi standar Eropa. Standar-standar tertulis seperti konstruksi beton, spesifikasi umum dan dokumen pelelangan sudah ada. Pengaturan jasa konstruksi dilakukan dengan arbitrase teknik dan terdapatnya keseragaman baik bentuk maupun tingkatan harga. Disamping keenam perusahaan kontraktor Belanda tersebut ada beberapa Perusahaan kontraktor kecil Indonesia yang berfungsi sebagai sub kontraktor dan pemasok.

    1. Periode sebelum tahun 1965

    Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan, banyak tenaga bangsa Belanda seperti tenaga teknik, profesor, guru, direktur perusahaan, arsitek, ‘foreman” pulang kenegaranya. Dengan sendirinya posisi ini harus diisi oleh orang Indonesia. Pada saat yang sama banyak perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Pada periode ini terjadi ketidak stabilan perekonomian Indonesia, tidak tersedia dana yang cukup untuk perkembangan, kecuali hanya untuk pekerjaan rehabilitasi dengan bantuan asing . Dalam upaya mengisi kekosongan yang terjadi, setelah kepergian Belanda, Universitas diminta untuk menghasilkan sejumlah sarjana. Pada masa transisi ini bidang keteknikan, arsitektur dan konstruksi mengalami krisis karena terjadi penurunan secara kuantitas dan kualitas dari ahli-ahli, pendidik, buku-buku, dan peralatan.

    1. Periode sesudah tahun 1965 sampai 1980

    Pada masa ini telah dilakukan pembenahan dalam program pembangunan maupun dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dimungkinkan karena adanya kestabilan di bidang politik, ekonomi dan keuangan. Lembaga pemerintah mulai melaksanakan pembangunan yang memberikan titik awal kebangkitan jasa konstruksi nasional. Pada saat Indonesia mulai membangun ynitu pada awal periode 1965 dialami beberapa kesulitan antara lain teknologi, manajamen, dan tenaga terampil serta ahli padahal pembangunan tidak mungkin ditunda-tunda lagi. Saat itu terpaksa diambil jalan pintas untuk mengimport teknologi asing dan keadaan inilah yang menyebabkan jasa konstruksi di Indonesia diwarnai oleh peranan dominan dari kontraktor asing terutama untuk proyek dengan teknologi tinggi dan skala besar. Modal asing dalam bentuk PMA dan PMDN menjadi sumber dana pembiayaan proyek yang tidak sedikit, dan peranan swasta mulai tumbuh. Dalam pembangunan proyek-proyek banyak melibatkan kontaktor Asing sehingga Kontraktor Indonesia sedikit banyak dapat memperoleh pengalaman untuk menerapkan teknologi maju

    1. Periode setelah tahun 1980

    Pada tahun 1980 mulailah dilakukan pembenahan dalam pengaturan mengenai  pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dengan keluarnya Keputusan  Presiden No. 14/80 tentang Tatacara Pelaksanaan APBN, karena dimaklumi APBN  merupakan sumber pembiayaan yang paling dominan. Pada periode ini terjadi “booming” di sektor minyak sehingga kegiatan pekerjaan konstruksi banyak dilakukan dimana-mana dan oleh karenanya perlu pengaturan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Pengaturan pelaksanaan APBN melalui Keppres 14/80 pun kemudian disempurnakan beberapa kali hingga sampai Keppres 29/84 yang terkenal tersebut yang mulai mengatur dunia usaha. Sejalan dengan hal tersebut pengaturan dunia usaha jasa konstruksi sendiri diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri/Sekretaris Negara selaku Ketua Tim Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah melalui keputusannya no.3547/TPPBPP/XII 1985 yang mengatur kualifikasi dan klasifikasi Perusahaan jasa konstruksi. Empat tahun kemudian lahirlah Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi yang merupakan pelimpahan wewenang dari Menteri Perdagangan ke Menteri Pekerjaan Umum sebagai pengganti Surat Izin Usaha Perdagangan untuk bidang jasa konstruksi. Keppres 2 9/84 paling lama bertahan sampai akhirnya disempurnakan dengan Keputusan Presiden 16/94 yang dalam petunjuk teknisnya mengatur secara rinci:

    1. tatacara pengadaan, dan
    2. prakualifikasi yang menilai klasifikasi dan kualifikasi Perusahaan

    Peraturan ini merupakan salah satu produk hukum yang mengatur dunia usaha jasa konstruksi yang terkait dengan sumber dana dari pemerintah termasuk bidang pemborongan pekerjaan non konstruksi dan pengaduan barang/jasa lainnya. Pada tahun 1994 mulai dikenal GATT dan GATS, kemudian WTO, APEC, dan AFEA yang membuat semua pihak mulai mengambil ancang-ancang akan adanya perubahan tata perekonomian dunia.

    Peraturan dan perundangan yang ada.

    Seperti telah disebutkan terdahulu, peraturan dan perundangan yang secara langsung berkaitan dengan jasa arsitek adalah:

    • UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi
    • PP No. 28, 29 dan 30/2000 tentang Jasa Konstruksi
    • UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung
    • PP No. 36/2005 tentang Bangunan Gedung
    • Perpres N0. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Bangunan Pemerintah

    Mengenai UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, secara umum adalah undang-undang yang memberikan pengaturan dan tata tertib tentang hubungan-hubungan kerjasama dalam konteks penyelenggaraan (jasa) pembangunan konstruksi. Hal ini ditegaskan kembali melalui PP No.28, 29 dan 30/2000 yang masing-masing mengatur tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP No.28/2000), tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP No.29/2000) dan tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (PP No.30/2000).

    Di lain pihak, UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung pada dasarnya adalah undang-undang yang mengatur tentang persyaratan bangunan gedung. Bagian yang utama adalah tentang syarat-syarat bangunan gedung, sedangkan bagian lainnya mengenai peran masyarakat, pembinaan dan sanksi-sanksi kegagalan bangunan. Hal ini tercermin pula melalui struktur undang-undang tersebut, khususnya pada Bab IV tentang Persyaratan Bangunan Gedung dan bagian-bagiannya yaitu:

    • Bagian 1: Umum
    • Bagian 2: Persyaratan Administrasi Bangunan Gedung
    • Bagian 3: Persyaratan Tata Bangunan
    • Bagian 4: Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
    • Bagian 5: Persyaratan Bangunan Gedung Fungsi Khusus

    Kalau melihat dan mengamati struktur peraturan dan perundangan yang lazim berlaku di banyak negara, untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya profesi arsitek maka dibutuhkan setidaknya 3 (tiga) kepranataan sebagai pilar pendukung utama. Masing-masing mengatur hal yang berbeda tetapi saling melengkapi dan menjadi kesatuan yang utuh.

    Pilar yang pertama adalah kepranataan yang mengatur hubungan kerja dan penyelenggaraan kerjasama para pihak yang bertanggungjawab dalam proses pembangunan. Di Indonesia, kepranataan ini terwujud dalam bentuk Undang-undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi.

    Pilar kedua adalah kepranataan yang mengatur obyek/materi dalam konteks jasa konstruksi, dalam hal ini adalah bangunan gedung dan lingkungan binaan (built environment). Kepranataan ini di Indonesia terwujud dalam bentuk Undang-undang No.28/2002 tentang Bangunan Gedung.

    Pilar ketiga adalah kepranataan yang mengatur subyek/para pelaku, yang dalam hal ini adalah arsitek (dan insinyur). Kepranataan ini belum ada di Indonesia. Dalam konteks keprofesian arsitek maka sehubungan dengan usaha untuk membangun dunia profesi yang kuat dan seimbang maka dianggap perlu adanya kepranataan khusus yang mengatur profesi arsitek sebagai pelaku aktif dalam dunia jasa konstruksi.

    Perbandingan kepranataan yang ada di manca negara.

    Pada tahun 1997 telah diadakan kongres arsitek dan pendidikan arsitektur di kota Darwin, Australia. Kongres tersebut dihadiri oleh 12 negara, termasuk Indonesia yang pada saat itu dihadiri oleh delegasi resmi Ikatan Arsitek Indonesia. Tercatat pada kongres itu bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara peserta yang belum mempunyai Undang-undang Arsitek/Architect Act.

    Kekuatan profesionalisme bisa diperkuat dengan memberikannya dasar hukum yang jelas. Jika di negara maju syarat profesionalisme dicantumkan dalam persyaratan perizinan bangunan. Prinsip ini secara normatif sebenarnya juga sudah dimasukkan dalam peraturan perundangan di Indonesia. Undang-undang RI nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) beserta Peraturan Pemerintah RI nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG (PPBG) menyebutkan peran profesionalisme atau tenaga ahli dalam prosedur pendirian bangunan. Aturan tersebut antara lain terdapat pada pasal 25 ayat 4 UUBG dan 63 ayat 1 PPBG tentang Surat Lisensi Bekerja Perencana (SLBP), pasal 36 UUBG dan pasal 66 dan 67 PPBG tentang Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), dan pasal 27 ayat 1,2,3 UUBG dan pasal 71 PPBG.

    Di lapangan, kota yang secara prinsip sudah melibatkan tenaga ahli secara resmi dalam penerbitan izin bangunan adalah kota Jakarta. Di sini, setiap rancangan bangunan yang dimintakan izin bangunan harus dibuat oleh arsitek profesional yang berlisensi (SIBP: Surat Izin Bekerja Perencana). Selain itu, ada proses design review yang melibatkan kalangan ahli, seperti Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK), Tim Penasehat Konstruksi Bangunan (TPKB),  dan Tim Penasihat Instalasi Bangunan (TPIB).

    Sumber          :