1. Pengertian Agama Secara Umum
Istilah Agama dalam bahasa sansekerta terdiri dari kosa kata ”a” berarti “tidak” dan “gama” yang berarti kacau. Jadi kalau kedua kata itu digabungkan maka agama berarti tidak kacau. Istilah yang ke dua adalah “ugama” yang berarti “peraturan”, “tata tertib”, “hukum taurat”. Dari kedua kata diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah upaya manusia untuk mengaitkan dan menyesuaikan seluruh hidupnya dengan tata tertib, hukum serta peraturan Ilahi. Sehingga relasi dengan yang Ilahi, manusia dan alam dapat berjalan dengan baik dan tertib.
Dalam bahasa latin agama’ disebut “religeo” kata ini berasal dari akar kata “religere” yang berarti “mengembalikan ikatan”, “mengikatkan kembali”. Dari istilah ini apat diartikan bahwa “agama” usaha manusia untuk mengembalikan, memulihkan hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah. Hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah pertama sekali terjadi ketika manusia (Adam dan Hawa) jatuh dalam dosa.
2. Pengertian Agama Menurut Para Sosiolog
Guna mempelajari bagian ini kita akan melihat pengertian agama menurut para sosiolog : menurut Emile Durkhien “agama merupakan kekuatan yang amat mempengaruhi sikap hidup manusia secara individual maupun sosial”. Sementara menurut Franz Dahlermengatakan” agama adalah hubungan manusia dengan kekuasaan yang suci, dimana kekuasaan yang suci tersebut lebih tinggi dari adanya manusia”. Hal yang sama dengan ini Banawiratman mengatakan “bahwa agama bukan hanya ajaran teoritis, merumuskan iman dan mengarahkan prilaku orang beriman, melainkan juga didalamnya terdapat norma dan aturan, perintah, dan larangan yang berkenaan dengan etika dan moral masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita menarik benang merah, bahwa nilai-nilai agama sudah ada dalam diri manusia dan nilai-nilai tersebut sangat mempengaruhi nilai hidup manusia sehingga ia memiliki kesadaran bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih suci dari dirinya.
3. Fungsi dan Peran Agama dalam Masyarakat
Agama yang hadir dalam sejarah peradaban manusia tidak hanya berorientasi kepada Tuhan (spiritual) namun juga berorientasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dr.Th. Kobong mengatakan “bahwa agama adalah sumber hidup manusia dalam relasi tiga dimensi, yaitu relasi dengan Allah pencipta, dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan lainnya”, dan kalau digambarkan demikian:
Allah<——–Agama——–>Sesama Manusia———>Ciptaan Lainnya
Memang harus diakui tidak sedikit pemeluk agama meningkatkan kehidupan spiritualitasnya masing-masing. Tetapi pada sisi lain, kegiatan itu seolah-olah terpisah dari kehidupan bersama dalam masyarakat. Padahal sejak semula para pendiri agama tidak memisahkan kehidupan spiritualnya dengan masyarakat.. misalnya, Sidharta Gautama memahami manusia dan dunia sebagai sesuatu yang beragama dan mempengaruhi. Itu sebab nya perbedaan harus dihargai. Nabi Mohammad yang mencoba merubah masyarakat Arab yang primordialisis menjadi masyarakat yang berlandaskan persaudaran universal. Yesus Kristus, memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan untuk semua orang.
Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya adalah masyarakat majemuk, dimana kemajemukan itu dapat kita lihat dalam hal: suku, etnis, bahasa, agama, dan lain-lain. Dalam hal agama, lima agama besar di dunia ada ditengah–tengah bangsa ini dan itu dilindungi/diakui oleh undang-undang (legal). Dan para The fonding fathers telah menetapkan pondasi sebagai titik puncak guna tumbuh kembangnya agama-agama yang ada itu.
Pancasila yang adalah landasan Negara telah menjadi payung guna melindungi agama-agama yang ada di dalamnya. “Pancasila menjadi wadah yang memadai sebagai dasar pijak bersama seluruh anak bangsa dan agama memberi isi pada dimensi ritual.
Adapun fungsi dan peran agama sebagai mana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:
a. Agar kita dapat selalu ingat akan Tuhan, petunjuk bagaimana cara kita melayani Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.
b. Sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Artinya jika kita melakukan sesuatu yang tidak baik, dengan kita
punya agama kita bisa disadarkan oleh ajaran dan agama yang kita anut untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik.
c. Penyelaras hidup dalam masyarakat.
4. Pearan Agama yang Destruktif
Istilah destruktif dapat diartikan merusak, memusnahkan. Dari istilah ini jelaslah bahwa agama bukan lagi sebagai alat perdamain, penyejuk, bagi umat manusia, tetapi telah diseret oleh pelaku kejahatan sebagai alatviolence. Dalam sejarah peradaban manusia di belahan dunia ini tidak sedikit musibah terjadi dengan dalih agama. Benyamin F. Intan mengatakan “agama dengan wilayahViolence tidak hanya ditemukan di negeri seberang sana, ia telah mengglobal, bisa ditemukan dimana-mana termasuk di negeri ini.
Semangat jihat, crusade, Holy War telah mewarnai sejarah perjalanan umat manusia dalam hal keagamaan. Semangat jihat, crusade dan Holy War ini memiliki ciri-ciri berperang mengatas namakan Tuhan dan cenderung memperlakukan lawan sebagai musuh yang harus diberantas dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Satu contoh yang terjadi pada saat Perang Salib sekitar abad ke 11 – abad 13 yang sangat dijiwai oleh semangat Holy War.
Pada tahun 1095 Paus Urbanus II memerintahkan orang-orang Kristen untuk merebut Tanah Suci Yerusalem dari tangan Muslim, yang digambarkn Paus pada waktu itu sebagai orang kafir terkutuk yang tidak mengenal Allah”. Perang Salib yang terjadi pada waktu itu, bukan hanya terjadi terhadap agama yang berbeda, tetapi juga ditujukan kepada sesama Kristen.
Masih banyak lagi deretan peristiwa yang mengatas namakan agama (Tuhan). Dan semangat seperti itu pun ada dalam agama apapun itu, tidak ada perkecualian, yakni semangat fundamentalisme dan fanatisme.
Peranan Agama dalam Masyarakat
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
* menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
* menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Fungsi Agama
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang diuraikan di bawah:
* Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia karena ia sentiasanya memberi penerangan kepada dunia(secara keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit dicapai melalui indra manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Allah(s.w.t) dan setiap manusia harus menaati Allah(s.w.t).
* Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sebagian pertanyaan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan pertanyaan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya pertanyaan kehidupan setelah mati, tujuan hidup, soal nasib dan sebagainya. Bagi kebanyakan manusia, pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan perlu untuk menjawabnya. Maka, agama itulah fungsinya untuk menjawab soalan-soalan ini.
* Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah karena sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama, melainkan tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
Memainkan fungsi peranan sosial.
Kebanyakan agama di dunia ini menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi peranan sosial.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://ahzawildan.multiply.com/journal/item/2
Kesimpulan :
Bila kita melihat pada artikel diatas dapat kita simpulkan bahwa adanya agama akan terwujud dengan 3 unsur pokok yakni manusia (personal), penghambaan (pekerjaan), Tuhan(yang disembah). Adakalanya manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain dan adakalanya juga manusia menyerahkan permasalahannya pada seseorang yang dia rasa mampu menyelesaikan atau setidaknya mampu meringankan beban yang dipikul olehnya. Dari ilustrasi diatas dapat kita sambungkan tali antara kebutuhan manusia akan sang pencipta, manusia beribadah melakukan kewajiban sebenarnya bukanlah untuk yang disembah (Tuhan) melainkan untuk mengadukan segala permasalahan yang dihadapinya pada Yang Maha Kuasa. Itulah fungsi utama dari agama
MEMAHAMI AGAMA MELALUI DIMENSI-DIMENSINYA
A. Sekilas tentang Ninian Smart
Sebelum melangkah jaun membahas agama melalui dimensinya, harus penulis mulai dulu mengenalkan seorang tokoh yang konsen mempelajari agama melalui dimensi-dimensi agama, ia mencurahkan sebagian hidupnya untuk diabdikan kepada perdamaian dunia melalui pemahan agama yang utuh, tidak parsial. Tokoh tersebut biasa dikenal dengan nama Ninian Smart.
Nama lengkapnya adalah Roderick Ninian Smart, dia adalah seorang Profesor Skotlandia sekaligus penulis dan pendidik universitas. Dia adalah seorang pelopor dalam bidang studi agama sekuler. Pada tahun 1967, Ninian Smart mendirikan departemen Study Agama pada Universitas Lancester di Britania Raya dan mendapatkan dukungan langsung dari wakil Kanselir, karena ia telah memimpin salah satu departemen paling bergengsi dan terbesar di Britania Teologi di Universitas Birmingham.
Pada tahun 1976, Ninian Smart menjadi Proofersor Rowny JF. Pertama dalam study Perbandingan Agama-agama di University or California, di Santa Barbara Amerika erikat, dan pada tahun 1979-1980 Smart mempresentasikan Kuliah Gifford. Pada tahun 1996, Smart dinobetkan sebagai Senat Akademik Profesor Riset, professor pangkat tertinggi di Santa Barbara.
Ninian Smart lahir di Cambridge, Inggris, tempat ayahnya, William Marshall Smart (1889-1975) adalah John Couch Adams Astronomim di Universitas Cambridge. Ibunya adalah Isabel (nee Carswell). W. M Smart, yang meninggal pada tahun 1975, juga menjabat sebagai Presiden Royal Astronomical Society (1950). Kedua orang tuanya berasal dari Skotlandia, dan mereka pindah ke Glasgow tahun 1937, ketika WM Smart menjadi Regius Profesor Astronomi (pension pada tahun 1959)
Ninian Smart adalah salah satu dari tiga bersaudara, yang semuanya menjadi professor. Jack (lahir 1920) menjadi professor filsafat, Alastair (1922-1992) adalah professor sejarah seni di Universitas Nottingham. Ninian Smart menghadiri Academy Glasgow sebelum bergabung dengan militer di tahun 1945 sampai 1948, di Inggris cops Intelejen Angkatan Darat, di mana ia belajar falsafah Cina (melalui teks konfusianisme) terutama di London school or Oriental dan studi Afrika serta telah diparpenjang kontrak pertama dengan Sri Lanka Buddhisme. Ini adalah pengalaman yang membangkitkan dia dari apa yang ia sebut tidurnya barat, “dengan panggilan muliadan budaya beragam”. Meninggalkan tentara sebgai kapten- dengan beasiswa untuk Queen’s College, Universitas Oxford, dia kembali ke Glasgow, Klasik dan Filsafat, terutama karena stdi Cina dan Oriental pada masa itu dianggap sebagai “kurikulum menyedihkan”. Namun, untuk itu ia belajar kembali ke agama-agama dunia, menulis apa yang kemudian dia gambarkan sebagai “disertasi pertama di Oxford pada filosofi Agama setelah Perang Dunia ke II”.
Selain sebagai pengajar, peneliti dan penulis, smart juga merupakan seorang aktivis dalam mempromosikan pemahaman lintas-budaya. Pada tahun 1970-an, ia terlibat dalam beberapa inisiati di Britania untuk memperluas kurikulum pendidikan public agama dan menyertakan berbagai agama dunia yang sebelumnya hanya sebatas Kristen. Smart terlibat dalam pertemuan Majelis Agama Dunia (1985, 1990, 1992) yang disponsori oleh Sun Myung Moon, pendiri gerakan Unifikasi dan menjabat sebagai presiden Federasi Antar Agama untuk Perdamaian Dunia. Smart berkeyakinan bahwa tanpa pemahaman yang lebih baik dari agama dan budaya, maka perdamaian dunia akan tetap sulit dipahami.
B. Pembahasan
Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”. Hal ini mengharuskan adanya unsur penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang terkait dengan simbolitas keagamaan.
Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentuk dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu
1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.
Roland Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai macam ekspresi simbolik tentang dan respon tepat terhadap segala nilai yang tidak terbatas bagi mereka (Cavanagh, 1978: 20). Definisi ini memang terlalu umum sehingga perlu batasan-batasan tertentu. Yang tampaknya paling tepat dalam pemberian batasan ini adalah apa yang dikemukakan Charles Glock dan Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi saling berbeda, namun hanya dengan kelimanya seseorang disebut “religious”: eksperimental, ideologis, ritualistic, intelektual, dan konsekuensional (Holm, 1977: 18). Berikut penjelasannya,
1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.
3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang.
4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.
Pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal menjadi abu saja.
Sebelum masuk pada rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama, Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam tentang hakekat keberagamaan (religious experience), yaitu: 1) doktrin, dogma, dan mite (Thought), 2) upacara agama dan pengabdian (Practive), dan 3) organisasi atau kelompok-kelompok agama (followship) .
Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu 1) dimensi praktis atau ritual, 2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic), 3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), 4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), 5) etis atau legal (Ethical and legal), 6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), 7) dan material/bahan.
Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama. Dimensi kedua, emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.
Dimensi ketiga, naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan. Dimensi keempat, filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu..
Dimensi kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran. Dimensi keenam, sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah. Dan dimensi ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan seperti bangunan, seni ukir dan beberapa kreasi lainnya
Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan, dan perintah.
Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.
Sebagai seorang fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.
Rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut:
1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.
2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian.
3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.
4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.
C. Dimensi-dimensi Agama dalam Konsep Islam
Menurut Jamaluddin Ancok (1994) lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark di atas, melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual semata tetapi juga pada dimensi-dimensi lain. Ancok (1994) menilai, meskipun tidak sepenuhnya sama, lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik.
Dalam perspektif Islam, keberagamaan harus bersifat menyeluruh sebagaimana diungkap dalam Al-Qur’an (2: 208) bahwa orang-orang yang beriman harus masuk ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Oleh karena itu seorang muslim harus mempunyai keyakinan terhadap akidah Islam, mempunyai komitmen dan kepatuhan terhadap syari’ah, mempunyai akhlak yang baik, ilmu yang cukup dan jiwa yang sufistik..
Dimensi Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah.
Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang berjumlah enam.
Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama.
Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.
Dimensi Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga, menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi (2003) iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali (1997) penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.
Menurut Nasution (1985) tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
Dimensi Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadlan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Dimensi Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah dan peradaban masyarakat Islam.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan agama dengan ilmu? Hemat penulis, ilmu berada di antara dua persoalan dalam agama, yaitu di antara yang sakral dan yang profan. Ilmu merupakan penghubung keduanya, dengan kata lain penghubung antara Tuhan dan Manusia. berkenaan dengan rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama, dapat kita lihat dalam suatu studi kasus atau peristiwa di masa lampau untuk mempermudah pemahaman. Misalnya, pertentangan Galileo dan Gereja Katolik, yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi pertama dan kedua (dan sesungguhnya ada juga unsur politis yang cukup kuat di situ). Selain itu, ada pula persoalan pembacaan yang berbeda atas kitab suci, yang dalam uraian Ninian Smart bisa masuk ke dimensi pertama, kedua, atau kelima. Belakangan ini, di kalangan Kristen dan Islam ada pula kecenderungan untuk mencari kesesuaian ayat-ayat tertentu dalam kitab suci dengan teori-teori ilmiah. Sementara itu, kritik kaum agamawan terhadap pemanfaatan sains (misalnya produksi bom atom dan nuklir; produksi teknologi pencemar lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri (misalnya penggunaan binatang untuk percobaan kimiawi atau biologis; atau manusia sebagai objek eksperimen medis dan psikologis) lebih menitikberatkan pada dimensi ketiga (etis dan legal). Contoh lain pada dimensi ketiga adalah pembicaraan tentang etika lingkungan, atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.
Contoh kasus semacam itu merupakan contoh adanya ketegangan, yang sekaligus menandai adanya titik-titik persentuhan, antara ilmu dan agama. Artinya, pada titik-titik persentuhan itu, kita dapat berbicara juga mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya.
Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu bagian menjadi tiga bidang bahasan: ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour dan John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih cenderung melakukan integrasi pada tingkat ontology (dan, dari sisi agama, pada dimensi pertama dan kedua dalam pambagian Smart).
Dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya agama mengasimilasi bukan mengonstruksi suatu teologi berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tak menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema Smart, Van Fraassen tak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama. Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.
Lepas dari itu semua, contoh-contoh tersebut telah cukup menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi) amat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian terbesar sejauh ini adalah pada dimensi ontology dan epistimologi ilmu, atau dimensi filoosofis dan naratif agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bias dimunculkan.
Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang subur untuk menumbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang belakangan, tampaknya bidang ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya memang perlu perhatian yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu dan agama.
Menurut Wiebe, gagasan-gagasan Ninian Smart memunculkan asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ninian Smart terlihat menolak untuk mengikuti posisi “ateisme metodologi”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan”. Petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologi tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul”.
Berdasarkan uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut, tampak bahwa semua agama, memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Barangkali dalam bahasa Mercia Eliade, adalah yang sakral dan yang profan. untuk mempertemukan dua hal yang saling bertolak belakang itu diperlukan suatu penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas tengah.
Hemat penulis, supaya tidak terlalu jauh pembahasan dalam hal ini, sederhananya dalam rumusan Ninian Smart agama dapat dijabarkan, bahwa realitas keberagamaan itu terbagi dua. Sebab, prinsip realitas itu ada dua, yaitu realitas dalam dan realitas luar. Atau dapat dikatakan realitas keberagamaan itu terbagi tiga, yaitu realitas dalam, realitas luar, dan realitas ambang (tengah-tengah). Prinsip realitas keagamaan dapat dibentuk skema sebagai berikut:
Realitas Dalam Relitas Tengah Relitas Luar
Tuhan Nabi, Wahyu Manusia, Umat
Transenden, Sakral, Tak terhingga, di luar dan waktu normatif Luminal, Ambang, Logos, Penghubung, dll Immanen, Profan, terhingga, di dalam ruang dan waktu historis
Rumusan Ninian Smart dalam Prinsip Realitas
Praktis dan ritual Pengalaman dan Emosional
Naratif dan mistis Doktrinal dan Filosofis Material/Bahan
Etis dan legal Sosial dan Institusional
Agama Merupakan:
- Pedoman masyarakat daam meniai dan membuat moral
- Ideologi.
- Paradgima
Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.