Izin dan Tata Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. 

Ruang merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Tata ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik, diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.

Jadi, Penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berdasarkan UUBG pasal 26

ayat (1)

menerangkan bahwa izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata banguna yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.

Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang mempunyai bukti hukum sah berupa perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak lain.

Atas dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin terlebih dahulu 

karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b UUBG).

Menurut Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005, permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan;

  1. Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah;
  2. Data pemilik bangunan gedung;
  3.  Rencana teknis bangunan gedung; dan
  4. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

Lalu apa yang bisa terjadi kalau pemilik tidak memiliki ijin?  Pemilik rumah dapat dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).

Tetapi bagaimana jadinya jika ternyata gedung tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di bangun? Maka peraturan yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG

Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:

“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”

Ancaman SUTET

SUTET adalah singkatan dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan kekuatan 500 kV yang ditujukan untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat pembangkit yang jaraknya jauh menuju pusat-pusat beban sehingga energi listrik bisa disalurkan dengan efisien.

Karena SUTET merupakan pengalir listrik, maka SUTET pasti mengeluarkan radiasi yang mungkin akan berpengaruh buruk bagi mahluk hidup terutama manusia di sekitarnya maka dibuatlah peraturan untuk mengendalikan pendirian sutet; yaitu SNI 04-6918-2002 tentang ”Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada SUTET”.

Namun ternyata, SNI mempunyai pendapat yang berbeda jarak ruang aman, yaitu :

  1. Jarak bebas umum Vertikal dari konduktor dengan bangunan, yaitu 9 meter untuk SUTET.
  2. Jarak bebas minimum Horizontal dari sumbu menara, yaitu :

–  22 meter untuk SUTET 500 KV sirkuit tunggal.

–  17 meter untuk SUTET 500 KV sirkuit ganda.

Tetapi banyak yang tidak mengindahkan peraturan ini dan tetap saja membangung tepat di tengah pemukiman. alhasil penduduk di sekitarnya akan lama kelamaan merasakan dampak buruk dari adanya SUTET di daerah mereka.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Gerald Draper dan koleganya dari Chilhood Cancer Research Group di Oxford University serta Dr. John Swanson, Seorang Penasehat Sains di National Grid Transco, menemukan bahwa anak-anak yang tinggal kurang dari 200 meter dari jalur tegangan tinggi, sewaktu dilahirkan akan memiliki risiko menderita leukimia sebesar 70 persen daripada yang tinggal dari jarak 600 meter atau lebih. Ditemukan lima kali lipat lebih besar kasus leukimia pada bayi yang dilahirkan di daerah sekitar SUTET atau sebesar 400 dalam setahun dari 1 persen jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Dr. dr. Anies, M.Kes. PKK, pada penduduk di bawah SUTET 500 kV di Kabupaten PekalonganKabupaten Pemalang, dan Kabupaten Tegal (2004) menunjukkan bahwa besar risiko electrical sensitivity pada penduduk yang bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV adalah 5,8 kali lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang tidak bertempat tinggal di bawah SUTET 500 kV. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pajanan medan elektromagnetik yang berasal dari SUTET 500 kV berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk, yaitu sekumpulan gejala hipersensitivitas yang dikenal dengan electrical sensitivity berupa keluhan sakit kepala (headache), pening (dizziness), dan keletihan menahun (chronic fatigue syndrome). Hasil penemuan Anies menyimpulkan bahwa ketiga gejala tersebut dapat dialami sekaligus oleh seseorang, sehingga penemuan baru ini diwacanakan sebagai “Trias Anies“.
Corrie Wawolumaya dari Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pernah melakukan penelitian terhadap pemukiman di sekitar SUTET. Hasilnya tidak ditemukan hubungan antara kanker leukemia dan SUTET
John Moulder mencoba menarik kesimpulan dari ratusan penelitian tentang dampak SUTET terhadap kesehatan. Moulder menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara medan tegangan listrik dan kesehatan manusia (termasuk kanker). Walaupun demikian medan tegangan listrik belum bisa dibuktikan benar-benar aman. Selain itu disepakati juga bahwa jika ada bahaya kesehatan terhadap manusia, maka itu hanya terjadi pada sebagian kecil kelompok

WHO berkesimpulan bahwa tidak banyak pengaruh yang ditimbulkan oleh medan listrik sampai 20 kV/m pada manusia dan medan listrik sampai 100 kV/m tidak memengaruhi kesehatan hewan percobaan. Selain itu, percobaan beberapa sukarelawan pada medan magnet 5 mT hanya memiliki sedikit efek pada hasil uji klinis dan fisik

Image

Tetapi bukan semua kesalahan terletak pada PLN yang mendirikan SUTET. Ingatlah! di kota besar seperti Jakarta, lahan sudah mulai menyempit. Tetapi hingga sekarang jumlah pendatang masih saja membludak. Ditambah jumlah kelahiran yang banyak. Semua hal itu mendorong orang-orang untuk membangun rumah di lahan seadanya. Untuk orang berduit, mencari lahan itu hal yang mudah. Tetapi untuk orang pas-pasan atau lebih parahnya miskin. Tempat yang tidak biasa pun bisa di pakai. Termasuk tepat di bawah SUTET.

Semua fakta di atas menuntut kita untuk berusaha bersama-sama mencari solusi memecahkan masalah SUTET ini. Supaya nanti jangan sampai anak-anak kita merasakan hidup “Di Bawah Bayang-Bayang SUTET”